Follow Me @intanyputri.edyson

Selasa, 29 September 2015

Ordo Tanah Ultisol

Ordo Tanah
            Ordo adalah kategori tertinggi dan pada taksonomi tanah terdapat 10 ordo, masing-masing berakhir dengan sol (bahasa Latin solum yang berarti tanah). Ordo-ordo tanah itu ialah sebagai berikut; entisol, bertisol, inseptisol, aridiosol, molisol, spodosol, alfisol, Ultisol, oksisol, dan histosol. Ordo dibagi menjadi anak ordo terutama berdasarkan sifat kimia dan fisika yang mencerminkan ada atau tidaknya kemampatan air atau perbedaan genesis yang disebabkan oleh iklim dan variabel yang berhubungan sebagian, yaitu vegetasi.
Ultisol
Kata Ultisol berasal dari bahasa Latin ultimus, yang berarti  terakhir atau dalam hal ultisol tanah yang paling terkikis dan memperlihatkan pengaruh pencucian yang terakhir. Ultisol memiliki horison argilik dengan kejenuhan basa yang rendah, yang kurang dari 35%. Biasanya terdapat alumunium yang dapat di pertukarkan dalam jumlah yang tinggi (Foth, 1994). Di Indonesia penyebaran tanah Ultisol sangat luas dikarenakan kondisi tanah Indonesia di dominasi oleh perbukitan dengan kemasaman yang tinggi.
Anggapan lama yang mengatakan bahwa tanah di Indonesia merupakan tanah surga dengan ungkapan  tongkat dan kayu jadi tanaman,  yang mencerminkan kesuburan tanah di Indonesia kini sepertinya tak lagi bisa di gunakan, kondisi tanah yang sedemikian rupa dengan penyebaran Tanah Ultisol hampir di Seluruh pulau di Indonesia . Namun, meski begitu tanah-tanah subur di Indonesia memang masih bisa di harapkan melihat banyaknya gunung berapi yang terdapat di Indonesia. Selain itu tanah-tanah tersebut juga telah mengalami pemeliharaan yag baik oleh petani, akan tetapi sayangnya Tanah Ultisol yang mendominan tampaknya masih menjadi kendala.
Ultisol adalah ordo tanah yang sangat tercuci, sangat rendah kandungan basanya. Ultisol merupakan ordo tanah yang mendominasi lahan kering di Indonesia. Sebagian besar Ultisol tersebar di wilayah berlereng dan mempunyai lapisan olah yang tipis dengan sifat fisika yang buruk, sehingga mudah tererosi. Kandungan hara Ultisol umumnya rendah sampai sedang akibat rendahnya pH dan kandungan bahan organik tanah. Selain itu, adanya lapisan padat (penumpukan liat) di bawah lapisan olah menyebabkan perakaran tanaman sulit menembus tanah, sehingga menggangu pertumbuhan dan perkembangannyan (Hardjowigeno, 2003)
Reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan 6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo et al. 2000)
Pada umumnya Ultisol mempunyai penampang tanah yang dalam sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Kecuali Ultisol yang mempunyai horizon kandik, semua tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi (> 16 cmol/kg) sehingga sangat menunjang dalam pemupukan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di Sumatera dan Kalimantan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Kendala dari aspek fisika tanah yaitu kemantapan dan daya pegang air rendah serta permeabilitas yang lambat (Junedi et al., 2013). Kemantapan agregat yang rendah pada gilirannya menyebabkan tanah mudah hancur bila terkena pukulan butir air hujan. Partikel- partikel yang hancur akan mengakibatkan Ultisol menjadi mudah padat. Untuk mengatasi kendala tersebut pada tanah ultisol biasanya diberikan bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik tanah. Selain itu Pengelolaan tanah-tanah Ultisol berwawasan lingkungan memerlukan masukan dalam bentuk FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) dan kompos agar menciptakan tingkat kesuburan tanah yang baik (Khairuna et al., 2015).
Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian adalah kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan organik rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan bahan organik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Foth, H.D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah, edisi keenam. Penerbit Erlangga . Jakarta
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta
Junedi, H., Mahbub. I.A, dan Zurhalena. 2013. Pemanfaatan Kompos Kotoran Sapi Dan Ara Sungsang Untuk Menurunkan Kepadatan  Ultisol. Jurnal  Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. No. 1 Tahun 2013. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Hal : 47-52.
Khairuna, Syarifuddin, dan Marliana. 2015. Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskular Dan Kompos Pada Tanaman Kedelai Terhadap Sifat Kimia Tanah. Jurnal Floratek. No.10 Tahun 2015. Universitas Syiah Kuala. Hal : 1-9.
Prasetyo, B.H. dan N. Suharta. 2000. Tanah- tanah pada landform utama di Propinsi Kalimantan Selatan. Potensi dan Kendalanya untuk Pengembangan Pertanian.  hlm. 419− 428.

Prasetyo, B.H., dan Suriadikarta, D.A.  2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. No.25 Tahun 2006. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian Tanah. Bogor. Hal : 39-47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar