Ordo
Tanah
Ordo
adalah kategori tertinggi dan pada taksonomi tanah terdapat 10 ordo,
masing-masing berakhir dengan sol
(bahasa Latin solum yang berarti
tanah). Ordo-ordo tanah itu ialah sebagai berikut; entisol, bertisol, inseptisol, aridiosol, molisol, spodosol, alfisol, Ultisol,
oksisol, dan histosol. Ordo dibagi menjadi anak ordo terutama berdasarkan
sifat kimia dan fisika yang mencerminkan ada atau tidaknya kemampatan air atau
perbedaan genesis yang disebabkan oleh iklim dan variabel yang berhubungan
sebagian, yaitu vegetasi.
Ultisol
Kata Ultisol berasal dari bahasa
Latin ultimus, yang berarti terakhir atau dalam hal ultisol tanah yang
paling terkikis dan memperlihatkan pengaruh pencucian yang terakhir. Ultisol
memiliki horison argilik dengan kejenuhan basa yang rendah, yang kurang dari
35%. Biasanya terdapat alumunium yang dapat di pertukarkan dalam jumlah yang
tinggi (Foth, 1994). Di Indonesia penyebaran tanah Ultisol sangat luas
dikarenakan kondisi tanah Indonesia di dominasi oleh perbukitan dengan
kemasaman yang tinggi.
Anggapan lama yang mengatakan bahwa
tanah di Indonesia merupakan tanah surga dengan ungkapan tongkat dan kayu jadi tanaman, yang mencerminkan kesuburan tanah di Indonesia
kini sepertinya tak lagi bisa di gunakan, kondisi tanah yang sedemikian rupa
dengan penyebaran Tanah Ultisol hampir di Seluruh pulau di Indonesia . Namun,
meski begitu tanah-tanah subur di Indonesia memang masih bisa di harapkan
melihat banyaknya gunung berapi yang terdapat di Indonesia. Selain itu
tanah-tanah tersebut juga telah mengalami pemeliharaan yag baik oleh petani,
akan tetapi sayangnya Tanah Ultisol yang mendominan tampaknya masih menjadi
kendala.
Ultisol adalah ordo tanah yang
sangat tercuci, sangat rendah kandungan basanya. Ultisol merupakan ordo tanah
yang mendominasi lahan kering di Indonesia. Sebagian besar Ultisol tersebar di
wilayah berlereng dan mempunyai lapisan olah yang tipis dengan sifat fisika
yang buruk, sehingga mudah tererosi. Kandungan hara Ultisol umumnya rendah
sampai sedang akibat rendahnya pH dan kandungan bahan organik tanah. Selain
itu, adanya lapisan padat (penumpukan liat) di bawah lapisan olah menyebabkan
perakaran tanaman sulit menembus tanah, sehingga menggangu pertumbuhan dan
perkembangannyan (Hardjowigeno, 2003)
Reaksi tanah Ultisol pada umumnya
masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali tanah Ultisol dari batu gamping
yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50). Kapasitas tukar
kation pada tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah
masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol/kg, 6,11−13,68 cmol/kg, dan
6,10−6,80 cmol/kg, sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping
tergolong tinggi (>17 cmol/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa
tanah Ultisol dari bahan volkan, tufa berkapur, dan batu gamping mempunyai
kapasitas tukar kation yang tinggi (Prasetyo et al. 2000)
Pada umumnya Ultisol mempunyai
penampang tanah yang dalam sehingga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
tanaman. Kecuali Ultisol yang mempunyai horizon kandik, semua tanah Ultisol
mempunyai kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi (> 16 cmol/kg) sehingga
sangat menunjang dalam pemupukan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman
pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman
perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman
perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di
Sumatera dan Kalimantan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Kendala dari aspek fisika tanah
yaitu kemantapan dan daya pegang air rendah serta permeabilitas yang lambat
(Junedi et al., 2013). Kemantapan
agregat yang rendah pada gilirannya menyebabkan tanah mudah hancur bila terkena
pukulan butir air hujan. Partikel- partikel yang hancur akan mengakibatkan
Ultisol menjadi mudah padat. Untuk mengatasi kendala tersebut pada tanah
ultisol biasanya diberikan bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik tanah.
Selain itu Pengelolaan tanah-tanah Ultisol berwawasan lingkungan memerlukan
masukan dalam bentuk FMA (Fungi Mikoriza Arbuskular) dan kompos agar
menciptakan tingkat kesuburan tanah yang baik (Khairuna et al., 2015).
Kendala
pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian adalah kemasaman dan
kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan organik rendah, dan tanah
peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan
teknologi seperti pengapuran, pemupukan, dan pengelolaan bahan organik (Prasetyo
dan Suriadikarta, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Foth,
H.D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah, edisi
keenam. Penerbit Erlangga . Jakarta
Hardjowigeno,
Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta
Junedi,
H., Mahbub. I.A, dan Zurhalena. 2013. Pemanfaatan Kompos Kotoran Sapi Dan Ara
Sungsang Untuk Menurunkan Kepadatan
Ultisol. Jurnal Penelitian
Universitas Jambi Seri Sains. No. 1 Tahun 2013. Fakultas Pertanian Universitas
Jambi. Hal : 47-52.
Khairuna,
Syarifuddin, dan Marliana. 2015. Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskular Dan Kompos
Pada Tanaman Kedelai Terhadap Sifat Kimia Tanah. Jurnal Floratek. No.10 Tahun
2015. Universitas Syiah Kuala. Hal : 1-9.
Prasetyo,
B.H. dan N. Suharta. 2000. Tanah- tanah pada landform utama di Propinsi
Kalimantan Selatan. Potensi dan Kendalanya untuk Pengembangan Pertanian. hlm. 419− 428.
Prasetyo,
B.H., dan Suriadikarta, D.A. 2006. Karakteristik,
Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian
Lahan Kering Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. No.25 Tahun 2006. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Balai Penelitian
Tanah. Bogor. Hal : 39-47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar